Abdul Haris Nasution
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Abdul Haris Nasution | |
---|---|
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat ke-2 | |
Masa jabatan 1966 – 1972 | |
Presiden | Soekarno Soeharto |
Didahului oleh | Chaerul Saleh |
Digantikan oleh | Idham Chalid |
Menteri Pertahanan Republik Indonesia ke-12 | |
Masa jabatan 10 Juli 1959 – 22 Februari 1966 | |
Presiden | Soekarno |
Didahului oleh | Djoeanda Kartawidjaja |
Digantikan oleh | Sarbini |
Informasi pribadi | |
Lahir | 3 Desember 1918 Kotanopan,Mandailing Natal,Sumatera Utara, Hindia Belanda |
Meninggal | 5 September 2000(umur 81) Jakarta, Indonesia |
Kebangsaan | Indonesia |
Partai politik | Non partai |
Suami/istri | Johanna Sunarti[1] |
Anak | Hendrianti Saharah Ade Irma Suryani[1] |
Profesi | Tentara |
Agama | Islam |
Dinas militer | |
Pengabdian bagi | Indonesia |
Dinas/cabang | TNI Angkatan Darat |
Masa dinas | 1945–1952, 1955–1971 |
Pangkat | Jenderal Besar |
Komando | Panglima Divisi Siliwangi |
Pertempuran/perang | Revolusi Nasional Indonesia |
Jenderal Besar TNI (Purn.) Abdul Haris Nasution (lahir di Kotanopan, Sumatera Utara, 3 Desember 1918 – meninggal di Jakarta,6 September 2000 pada umur 81 tahun) adalah seorang pahlawan nasional Indonesia[2] yang merupakan salah satu tokoh yang menjadi sasaran dalam peristiwa Gerakan 30 September, namun yang menjadi korban adalah putrinya Ade Irma Suryani Nasutiondan ajudannya, Lettu Pierre Tendean.
Daftar isi
[sembunyikan]Kehidupan awal[sunting | sunting sumber]
Nasution dilahirkan di Desa Hutapungkut, Kotanopan, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara,[3] dari keluarga Batak Muslim.[4] Ia adalah anak kedua dan juga merupakan putra tertua dalam keluarganya. Ayahnya adalah seorang pedagang yang menjual tekstil, karet dan kopi, dan merupakan anggota dari organisasi Sarekat Islam. Ayahnya, yang sangat religius, ingin anaknya untuk belajar di sekolah agama, sementara ibunya ingin dia belajar kedokteran di Batavia. Namun, setelah lulus dari sekolah pada tahun 1932, Nasution menerima beasiswa untuk belajar mengajar di Bukit Tinggi.
Pada tahun 1935 Nasution pindah ke Bandung untuk melanjutkan studi, di sana ia tinggal selama tiga tahun. Keinginannya untuk menjadi guru secara bertahap memudar saat minatnya dalam politik tumbuh. Dia diam-diam membeli buku yang ditulis olehSoekarno dan membacanya dengan teman-temannya. Setelah lulus pada tahun 1937, Nasution kembali ke Sumatera dan mengajar di Bengkulu, ia tinggal di dekat rumah pengasingan Soekarno. Dia kadang-kadang berbicara dengan Soekarno, dan mendengarnya berpidato. Setahun kemudian Nasution pindah ke Tanjung Raja, dekat Palembang, di mana ia melanjutkan mengajar, namun ia menjadi lebih dan lebih tertarik pada politik dan militer.[5]
Pada tahun 1940, Jerman Nazi menduduki Belanda dan pemerintah kolonial Belanda membentuk korps perwira cadangan yang menerima orang Indonesia. Nasution kemudian bergabung, karena ini adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan pelatihan militer. Seiring dengan beberapa orang Indonesia lainnya, ia dikirim ke Akademi Militer Bandung untuk pelatihan. Pada bulan September 1940 ia dipromosikan menjadi kopral, tiga bulan kemudian menjadi sersan. Dia kemudian menjadi seorang perwira diKoninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL).[6] Pada tahun 1942 Jepang menyerbu dan menduduki Indonesia. Pada saat itu, Nasution di Surabaya, ia ditempatkan di sana untuk mempertahankan pelabuhan. Nasution kemudian menemukan jalan kembali ke Bandung dan bersembunyi, karena ia takut ditangkap oleh Jepang. Namun, ia kemudian membantu milisi PETA yang dibentuk oleh penjajah Jepang dengan membawa pesan, tetapi tidak benar-benar menjadi anggota.[7]
Revolusi Nasional Indonesia[sunting | sunting sumber]
Lihat pula: Revolusi Nasional Indonesia
Divisi Siliwangi[sunting | sunting sumber]
Setelah Sukarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Nasution bergabung dengan militer Indonesia yang kemudian dikenal sebagai Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Pada bulan Mei 1946, ia diangkat Panglima RegionalDivisi Siliwangi, yang memelihara keamanan Jawa Barat. Dalam posisi ini, Nasution mengembangkan teori perang teritorial yang akan menjadi doktrin pertahanan Tentara Nasional Indonesia di masa depan.[8][9]
Pada bulan Januari 1948, Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Belanda menandatangani Perjanjian Renville, membagi Jawa antara daerah yang dikuasai Belanda dan Indonesia. Karena wilayah yang diduduki oleh Belanda termasuk Jawa Barat, Nasution dipaksa untuk memimpin Divisi Siliwangi menyeberang ke Jawa Tengah.[10][11]
Wakil Panglima[sunting | sunting sumber]
Pada 1948 Nasution naik ke posisi Wakil Panglima TKR. Meskipun hanya berpangkat Kolonel, penunjukan ini membuat Nasution menjadi orang paling kuat kedua di TKR, setelah Jenderal Soedirman. Nasution segera pergi untuk bekerja dalam peran barunya. Pada bulan April, ia membantu Soedirman mereorganisasi struktur pasukan. Pada bulan Juni, pada sebuah pertemuan, saran Nasution bahwa TKR harus melakukan perang gerilya melawan Belanda disetujui.
Meski bukanlah Panglima TKR, Nasution memperoleh pengalaman peran sebagai Panglima Angkatan Bersenjata pada bulan September 1948 saat Peristiwa Madiun. Kota Madiun di Jawa Timur diambil alih oleh mantan Perdana Menteri Amir Syarifuddin dan Musso dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Setelah kabar itu sampai ke Markas TKR diYogyakarta, diadakan pertemuan antara perwira militer senior. Soedirman sangat ingin menghindari kekerasan dan ingin negosiasi dilakukan. Soedirman kemudian menugaskan Letnan Kolonel Soeharto, untuk menegosiasikan kesepakatan dengan komunis. Setelah melakukan perjalanannya, Soeharto kembali ke Nasution dan Soedirman untuk melaporkan bahwa segala sesuatu tampak damai. Nasution tidak percaya laporan ini sementara Soedirman sedang sakit. Nasution sebagai Wakil Panglima kemudian memutuskan tindakan keras, mengirim pasukan untuk mengakhiri pemberontakan komunis di sana.[12][13]
Pada 30 September, Madiun diambil alih oleh pasukan republik dari Divisi Siliwangi. Ribuan anggota partai komunis tewas dan 36.000 lainnya dipenjara. Di antara yang terbunuh adalah Musso pada 31 Oktober, diduga ia terbunuh ketika mencoba melarikan diri dari penjara. Pemimpin PKI lainnya seperti DN Aidit pergi ke pengasingan di Cina.
Pada 19 Desember 1948, Belanda melancarkan serangan sukses di Yogyakarta dan kemudian mendudukinya. Nasution, bersama-sama dengan TKR dan para komandan lainnya, mundur ke pedesaan untuk melawan dengan taktik perang gerilya. Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta ditawan Belanda, Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) didirikan di Sumatera. Dalam pemerintahan sementara ini, Nasution diberikan posisi Komandan Angkatan Darat dan Teritorial Jawa. Setelah pengakuan Belanda atas kemerdekaan Indonesia, PDRI mngembalikan kekuasaan kepada Soekarno dan Hatta, dan Nasution kembali ke posisinya sebagai Wakil Panglima Soedirman.
0 komentar:
Posting Komentar